Kamis, 19 Februari 2009

Ponari

Fenomena Ponari

Beberapa hari ini semua stasiun televisi indonesia selalu dihiasi oleh wajah dukun cilik Ponari..
SEorang anak dari sebuah desa di kota Jombang yang semula hanya anak biasa, tiba-tiba dipercaya oleh banyak orang sebagai seorang yang sakti, setelah dikabarkan telah "tersambar" petir dan mendapatkan sebuah batu ajaib. Dengan batu itulah ponari dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Banyak sekali pro dan kontra yang muncul di masyarakat mengenai masalah ini. Kalangan ulamapun terpecah dalam menanggapi masalah ini. Ada sebagian ulama yang menilai kegiatan ini merupakan bagian dari syirik karena dapat berakibat pen"dewa"an seorang Ponari dan melupakan peran dari Allah. Tapi tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa, hal itu hanya sekedar ihtiar untuk mencari kesembuhan dan hal itu bukan merupakan kegiatan penyimpangan akidah.
Sebagai seorang dokter, saya jadi berpikir lebih dalam lagi mengenai hal ini. Bukannya saya merasa tersaingi atau bahkan kalah dalam hal menyembuhkan penyakit pasien,sekali lagi bukan masalah itu..
Ada beberapa hal yang menggelitik benak saya. Yang pertama jelas saya harus melakukan introspeksi terhadap profesi saya yang dalam hal ini adalah seorang dokter. Dengan adanya hal ini,saya jadi punya pikiran apakah terjadi kemunduran kualitas dokter kita sehingga banyak sekali kegagalan pengobatan yang telah kami lakukan. Jika memang benar telah terjadi Kemunduran kualitas dokter, efeknya akan sangat luas..
Yang kedua adalah sesuai dengan alasan yang banyak diajukan oleh televisi2 yaitu mahalnya biaya pengobatan di Indonesia, meskipun menurut saya hal itu juga sangat absurd dan belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saya bilang begitu karena ternyata banyak sekali pasien2 ponari yang berasal luar kota bahkan dari luar jawa. Tidaklah mungkin seorang yang tidak mampu berangkat keluar kota bahkan luar pulau. dan yang pasti, hal ini juga telah disanggah oleh menteri kesehatan sendiri.
Kemungkinan yang lain adalah masalah pendidikan masyarakat yang masih rendah dan masih kentalnya nuansa mistis yang dibalut dengan aroma religius.
Ternyata yang seharusnya merenungi masalah ini bukan hanya saya saja sebagai dokter,tetapi juga banyak pihak yang mungkin berkepentingan terhadap masalah ini.
tapi menurut saya, tidaklah tepat kalo pihak kepolisian menutup praktik ini secara paksa. mungkin ini semua memang peringatan tuhan kepada kita semua untuk selalu berinterospeksi terhadap diri kita masing-masing sesuai dengan peran kita di dalam masyarakat

Visum et Repertum

Visum et Repertum

Siapa Yang Berhak dan Mempunyai Wewenang Membuatnya

Oleh : dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, SpF

Membaca harian Suara Merdeka tanggal 15 Februari 2009 yang bertajuk RS dan Puskesmas Hanya Diperbolehkan Visum Luar membuat saya sebagai dokter forensik sedikit tersenyum, tersenyum dalam artian bahwa profesi saya saat ini telah banyak diakui keberadaannya. Tajuk ini berhubungan dengan disampaikannya komentar dari Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Tegal yang menindaklanjuti kebingungan sebagian dokter baik di Puskesmas maupun RS mengenai keabsahan hasil Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dokter yang bukan dokter spesialis forensik. Mungkin selama ini istilah Visum et Repertum telah akrab di telinga kita, tetapi tahukah kita apa sebenarnya Visum et Repertum itu sendiri.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak pernah disebutkan istilah visum et repertum. Istilah ini hanya ditemukan dalam Staatsblad 350 tahun 1937 yang berbunyi “Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa “. Sampai saat ini Stbl. Tahun 1937 No.350 tersebut masih belum dicabut meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini akrab dengan para dokter Indonesia , bahkan menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil dari pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman disebut dengan Visum et Repertum. Secara harafiah, visum berarti melihat dan repertum berarti melaporkan. Jadi inti dari visum et repertum itu adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang bukti yang diajukan pihak penyidik.

Sesuai dengan KUHAP, seorang penyidik dimungkinkan untuk meminta bantuan ahli dalam proses penyidikannya. Secara khusus, apabila tindak pidana tersebut menyangkut kejahatan terhadap kesehatan ataupun nyawa manusia, ahli yang diminta keterangannya mau tidak mau adalah seorang dokter. Keterangan yang nantinya akan dikeluarkan oleh dokter itulah yang disebut dengan visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum, seorang dokter dimungkinkan dengan pemeriksaan luar saja maupun pemeriksaan luar dan dalam (otopsi). Untuk korban meninggal, sebaiknya dilaksanakan pemeriksaan otopsi karena dengan hanya pemeriksaan luar saja, seorang dokter tidak akan bisa menentukan penyebab kematian dari jenazah tersebut. Sedangkan untuk korban penganiayaan atau kekerasan seksual yang masih hidup, cukup dilakukan pemeriksaan luar saja.

Kembali pada permasalahan awal di Kota Tegal. Masalah ini berpokok pada sah atau tidaknya sebuah visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang dokter yang bukan merupakan dokter spesialis forensik. Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Dalam pasal ini sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et repertum (Visum luar maupun otopsi). Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik merupakan keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang antara lain menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, konsekuensi Yuridisnya, Semua hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun dokter selain dokter spesialis forensik merupakan alat bukti yang syah menurut hukum acara pidana. Yang membedakannya adalah kedudukannya sebagai alat bukti masih lebih tinggi visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik.

Didalam KUHAP, alat bukti yang syah tersebut pada pasal 184 yaitu berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Beban pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbeda sesuai dengan urutannya. Sebagai contoh keterangan saksi harus lebih dipercaya oleh hakim apabila dibandingkan dengan keterangan terdakwa. Demikian halnya dengan keterangan ahli yang diberikan oleh seorang spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban pembuktian yang lebih besar apabila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan spesialis forensik.

Meskipun demikian, kita harus sadar bahwa jumlah spesialis forensik di Indonesia sangatlah terbatas. Jumlah dokter spesialis forensik yang tercatat pada kolegium Ilmu Kedokteran forensik Indonesia adalah sebanyak …. Dokter spesialis forensik. Jumlah ini tentunya sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia. Apalagi sampai saat ini dokter spesialis forensik tersebut masih terkumpul di kota-kota besar yang merupakan pusat pendidikan. Hal ini diperparah dengan semakin meningkatnya kasus kriminalitas dari waktu ke waktu.

Prinsip yang selalu dipegang teguh oleh seorang ahli forensik adalah waktu pemeriksaan. Semakin cepat seorang dokter memeriksa barang bukti yang dalam hal ini adalah jenazah atau korban hidup, maka akan semakin banyak informasi yang dapat digali dari pemeriksaan tersebut. Dengan bertambahnya waktu, maka akan banyak terjadi perubahan-perubahan yang akan mempersulit pemeriksaan. Sebagai contoh perlukaan akibat kekerasan dalam rumah tangga akan sangat berbeda apabila korban melapor segera setelah terjadinya penganiayaan dibandingkan dengan pelaporan yang terlambat. Hal ini terjadi karena perlukaan tersebut semakin lama akan mengalami proses penyembuhan, sehingga keterangan yang diberikan oleh seorang dokter akan kurang relefan lagi dengan keadaan sebenarnya. Untuk pemeriksaan jenazah, perubahan-perubahan tersebut akan dapat dihambat dengan cara memasukkan jenazah ke dalam lemari pendingin yang sekarang sudah umum dimiliki oleh rumah sakit-rumah sakit daerah.

Maka dari itu, kasus-kasus penganiayaan hidup yang membutuhkan visum luar sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan yang dilanjutkan dengan pembuatan visum et repertum. Apabila dokter spesialis forensik dapat sesegera mungkin memeriksa korban, alangkah baiknya apabila pembuatan visum et repertum tersebut oleh seorang dokter spesialis forensik. Akan tetapi, apabila dokter spesialis forensik tidak dapat diharapkan segera memeriksa korban, maka pembuatan visum et repertum tersebut dapat dikerjakan oleh dokter yang bukan dokter spesialis forensik. Meskipun nilai pembuktian di pengadilan lebih rendah dari visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang spesialis forensik, hal itu tetap akan lebih baik bagi korban karena luka-luka yang ada akan dapat segera teridentifikasi oleh dokter pemeriksa.

Langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Tegal menurut saya adalah sesuatu langkah maju yang baik. Memperjelas suatu polemik yang berkembang, sehingga membuat dokter dan penegak hukum menjadi tidak ragu-ragu dalam menjalankan fungsinya dan hasil akhir dari semuanya itu adalah perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.