Kamis, 19 Februari 2009

Visum et Repertum

Visum et Repertum

Siapa Yang Berhak dan Mempunyai Wewenang Membuatnya

Oleh : dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, SpF

Membaca harian Suara Merdeka tanggal 15 Februari 2009 yang bertajuk RS dan Puskesmas Hanya Diperbolehkan Visum Luar membuat saya sebagai dokter forensik sedikit tersenyum, tersenyum dalam artian bahwa profesi saya saat ini telah banyak diakui keberadaannya. Tajuk ini berhubungan dengan disampaikannya komentar dari Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Tegal yang menindaklanjuti kebingungan sebagian dokter baik di Puskesmas maupun RS mengenai keabsahan hasil Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dokter yang bukan dokter spesialis forensik. Mungkin selama ini istilah Visum et Repertum telah akrab di telinga kita, tetapi tahukah kita apa sebenarnya Visum et Repertum itu sendiri.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak pernah disebutkan istilah visum et repertum. Istilah ini hanya ditemukan dalam Staatsblad 350 tahun 1937 yang berbunyi “Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa “. Sampai saat ini Stbl. Tahun 1937 No.350 tersebut masih belum dicabut meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini akrab dengan para dokter Indonesia , bahkan menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil dari pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman disebut dengan Visum et Repertum. Secara harafiah, visum berarti melihat dan repertum berarti melaporkan. Jadi inti dari visum et repertum itu adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang bukti yang diajukan pihak penyidik.

Sesuai dengan KUHAP, seorang penyidik dimungkinkan untuk meminta bantuan ahli dalam proses penyidikannya. Secara khusus, apabila tindak pidana tersebut menyangkut kejahatan terhadap kesehatan ataupun nyawa manusia, ahli yang diminta keterangannya mau tidak mau adalah seorang dokter. Keterangan yang nantinya akan dikeluarkan oleh dokter itulah yang disebut dengan visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum, seorang dokter dimungkinkan dengan pemeriksaan luar saja maupun pemeriksaan luar dan dalam (otopsi). Untuk korban meninggal, sebaiknya dilaksanakan pemeriksaan otopsi karena dengan hanya pemeriksaan luar saja, seorang dokter tidak akan bisa menentukan penyebab kematian dari jenazah tersebut. Sedangkan untuk korban penganiayaan atau kekerasan seksual yang masih hidup, cukup dilakukan pemeriksaan luar saja.

Kembali pada permasalahan awal di Kota Tegal. Masalah ini berpokok pada sah atau tidaknya sebuah visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang dokter yang bukan merupakan dokter spesialis forensik. Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Dalam pasal ini sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et repertum (Visum luar maupun otopsi). Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik merupakan keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang antara lain menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, konsekuensi Yuridisnya, Semua hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun dokter selain dokter spesialis forensik merupakan alat bukti yang syah menurut hukum acara pidana. Yang membedakannya adalah kedudukannya sebagai alat bukti masih lebih tinggi visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik.

Didalam KUHAP, alat bukti yang syah tersebut pada pasal 184 yaitu berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Beban pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbeda sesuai dengan urutannya. Sebagai contoh keterangan saksi harus lebih dipercaya oleh hakim apabila dibandingkan dengan keterangan terdakwa. Demikian halnya dengan keterangan ahli yang diberikan oleh seorang spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban pembuktian yang lebih besar apabila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan spesialis forensik.

Meskipun demikian, kita harus sadar bahwa jumlah spesialis forensik di Indonesia sangatlah terbatas. Jumlah dokter spesialis forensik yang tercatat pada kolegium Ilmu Kedokteran forensik Indonesia adalah sebanyak …. Dokter spesialis forensik. Jumlah ini tentunya sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia. Apalagi sampai saat ini dokter spesialis forensik tersebut masih terkumpul di kota-kota besar yang merupakan pusat pendidikan. Hal ini diperparah dengan semakin meningkatnya kasus kriminalitas dari waktu ke waktu.

Prinsip yang selalu dipegang teguh oleh seorang ahli forensik adalah waktu pemeriksaan. Semakin cepat seorang dokter memeriksa barang bukti yang dalam hal ini adalah jenazah atau korban hidup, maka akan semakin banyak informasi yang dapat digali dari pemeriksaan tersebut. Dengan bertambahnya waktu, maka akan banyak terjadi perubahan-perubahan yang akan mempersulit pemeriksaan. Sebagai contoh perlukaan akibat kekerasan dalam rumah tangga akan sangat berbeda apabila korban melapor segera setelah terjadinya penganiayaan dibandingkan dengan pelaporan yang terlambat. Hal ini terjadi karena perlukaan tersebut semakin lama akan mengalami proses penyembuhan, sehingga keterangan yang diberikan oleh seorang dokter akan kurang relefan lagi dengan keadaan sebenarnya. Untuk pemeriksaan jenazah, perubahan-perubahan tersebut akan dapat dihambat dengan cara memasukkan jenazah ke dalam lemari pendingin yang sekarang sudah umum dimiliki oleh rumah sakit-rumah sakit daerah.

Maka dari itu, kasus-kasus penganiayaan hidup yang membutuhkan visum luar sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan yang dilanjutkan dengan pembuatan visum et repertum. Apabila dokter spesialis forensik dapat sesegera mungkin memeriksa korban, alangkah baiknya apabila pembuatan visum et repertum tersebut oleh seorang dokter spesialis forensik. Akan tetapi, apabila dokter spesialis forensik tidak dapat diharapkan segera memeriksa korban, maka pembuatan visum et repertum tersebut dapat dikerjakan oleh dokter yang bukan dokter spesialis forensik. Meskipun nilai pembuktian di pengadilan lebih rendah dari visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang spesialis forensik, hal itu tetap akan lebih baik bagi korban karena luka-luka yang ada akan dapat segera teridentifikasi oleh dokter pemeriksa.

Langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Tegal menurut saya adalah sesuatu langkah maju yang baik. Memperjelas suatu polemik yang berkembang, sehingga membuat dokter dan penegak hukum menjadi tidak ragu-ragu dalam menjalankan fungsinya dan hasil akhir dari semuanya itu adalah perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.

7 komentar:

  1. Pak Sigid, bolehkah permintaan visum tetap diberikan kepada dokter umum, bilamana di suatu wilayah sudah ada dokter-dokter spesialis non forensik? Atau harus sesuai keahlian tertentu, seperti misalya kasus penganiayaan oleh dokter bedah, perkosaan oleh dokter obsgin dan sebagainya?

    BalasHapus
  2. Terimakasih pertanyaannya...
    Seperti sudah saya sebutkan diatas, Dalam KUHAP pasal 133 disebutkan bahwa penyidik boleh meminta pendapat ahli dari dokter ahli forensik,dokter atau bahkan ahli lainnya.
    jadi menurut pasal tersebut,sebenarnya boleh saja penyidik meminta visum kepada dokter umum ataupun dokter spesialis non forensik.
    Tetapi dalam RUU Kesehatan yang baru, yang mungkin sebentar lagi akan keluar sebagai UU, jelas disebutkan bahwa visum/otopsi untuk kepentingan hukum harus dilakukan oleh seorang dokter forensik. Hal tersebut dilakukan apabila terdapat dokter forensik yang bisa / terjangkau dari TKP.
    Apabila tidak ada dan tidak memungkinkan untuk mendatangkan dokter forensik, maka bisa dilakukan oleh dokter umum yang telah menerima pelatihan forensik sebelumnya.Untuk dokter spesialis lain non forensik, menurut saya masih mungkin membuat visum selama tidak terjangkau dokter forensik..

    BalasHapus
  3. dok,apabila dalam suatu kecelakaan terdapat korban yang tidak dapat dikenali melalui sidik jari, biasanya dilakukan visum dengan melihat keadaan giginya, dan yang melakukannya adalah seorang drg. forensik...
    apakah seorang dokter umum bisa jadi seorang drg. ahli forensik???? atau itu hanya bisa untuk dkter gigi saja dok ??
    terimakasih.

    BalasHapus
  4. pak saya ingin tanya bagaimana tinjauan otopsi yang dilakukan oleh dokter yang bukan ahli forensik dalam pandangan hukum pidana,mohon jawabannya pak

    BalasHapus
  5. dokter,,,
    apa boleh keluarga korban melihat hasil visum?

    BalasHapus
  6. Ijin bertanya.
    Apakah setiap rumah sakit swasta diperbolehkan mengeluarkan visum et repertum.
    Dan apakah ada peraturannya mengenai hal tersebut.
    Terimakasih.

    BalasHapus
  7. mau tanya, dokter forensik bisa keja dimana saja ya? apa bisa di institusi pemerintah?

    BalasHapus